Pages

Pengikut

Minggu, 16 Desember 2012

PERAN KEDWIBAHASAAN TERHADAP KELAS SOSIAL MASYARAKAT TUTUR



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Aslinda dalam Kridalaksana, 2010 : 1). Bahasa dapat menggantikan peristiwa atau kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh individu atau kelompok. Dengan bahasa seorang individu atau kelompok dapat berinteraksi dengan kelompok atau individu lainnya. Bahasa juga sering dianggap sebagi produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan kegiatan tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk social atau budaya tentunya bahasa merupakan wadah aspirasi social, kegiatan dan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang kelompok masyarakat atau kelas sosial yang terdapat didalamnya, tentunya tidak terlepas dari peran kedwibahasaan yang mampu menyesuaikan kapan dan dimana seseorang akan berbicara layaknya sebagai masyarakat yang terdidik atau kaum intelek, dan kapan masyarakat atau individu akan bertindak atau berbicara layaknya masyarakat tutur pada umumnya.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedwibahasaan
Menurut Mackey (Aslinda, 2010:24) Kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more languages by same  individual. Dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti: masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuran atau campur kode, interferensi, dan integrasi.
Masalah tingkat adalah penguasaan bahasa oleh seseorang, maksudnya sejauh mana seorang itu mampu menjadi dwibahasawan atau sejauh manakah orang itu mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Kontak bahasa terjadi pada masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan bahasanya sendiri. Kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa oleh penutur dalam konteks sosial. Ciri yang menonjol dari sentuh bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan/ bilingualism atau keanekaragaman bahasa/ multilingualism.
Ibrahim (1995: 189) ada dua asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal diantara objek-objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Berimplikasi bahwa setiap ucapan (utterance) dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu.

1.      Fungsi Kemasyarakatan Dan Kedudukan Masyarakat Bahasa

Bahasa memiliki fungsi tertentu dalam pergaulan diantara sesama anggota kelompok  atau suku bangsa. Sebagai contoh, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa Nasional, bahasa Negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan antarsuku bangsa. Begitupun bahasa daerah, menjadi bahasa pengantar dalam suatu daerah dalam acara resmi, seperti pada upacara adat. 
 Nuzulia (2011) Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman. Pendekatan sosiologi melihat adanya konteks institutional tertentu (domain) yang terkait dengan dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain informal. Ranah didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
  Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.  Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pendek kata, bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.

B.     Dwibahasawan
Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya: masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Hal ini dapat dilihat juga di Malaysia dengan bahasa Inggris dan Melayu, Filipina dengan bahasa Inggris dan Tagalog, dan di Haiti dengan bahasa Perancis dan Kreol Haiti.
Weinreich dalam Aslinda (26 : 2010) mengatakan seorang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa dwibahasawan yang satu berbeda dengan dwibahasawan yang lain, bergantung pada setiap individu yang mempergunakannya dan dwibahasawan dikatakan mampu berperan dalam perubahan bahasa.
Sumarsono (2009: 36) meskipun dikatakan, di dalamnya sebuah bahasa hanya ada sebuah ragam baku, ditemukan ada situasi yang unik dalam beberapa bahasa, yaitu dalam sebuah bahasa ditemukan ada dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hanya saja, fungsi dan pemakaiannya berbeda, peristiwa tersebut disebut diglosia.
1.      Diglosia Dalam Masyarakat Aneka Bahasa
Ferguson melihat para penutur sesuatu bahasa, kadang-kadang memakai ragam bahasa tertentu dan memakai ragam lain untuk situasi lain. Kemudian ada suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari satu bahasa, hidup berdampingan dengan bahasa lain. Sebaliknya, ada dua keadaan yaitu, dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono 2009 :23).
2.      Diglosia Tanpa Bilingualisme
Kondisi yang diperlukan untuk menciptakan eksistensi diglosia tanpa bilingualisme adalah eksistensi sistem sosial yang relative umum yang di dalam keanggotaan kelompok diperoleh dari kelahiran dan tidak mudah hilang (Ibrahim, 1995: 207). Kasus yang ekstrim dalam masalah di atas adalah di mana kelompok elit memilih untuk mengisolir diri dari populasi lain yang diajak berkomunikasi atau kalau berkomunikasi dengan mereka harus memakai penterjemah. Kelompok elit tersebut lebih suka memakai bahasa asing yang berstatus lebih tinggi  dalam komunikasi antara mereka sendiri.

C.    Kelas Sosial
Kelas sosial mengacu pada orang-orang yang mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya (Sumarsono 2009: 43).
Seorang individu mungkin mempunyai status sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak dalam sebuah keluarga, dan juga berstatus sosial sebagai seorang guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia akan masuk kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”. Ragam kelas sosial masyarakat tergantung pada tingkat kehidupan msyarakat. Semakin maju tingkat kehidupan masyarakat,maka  semakin banyak ragam kelas sosialnya.
Kelas sosial pada masyarakat, ada yang digolongkan kelas bawah, menengah, atas, dan kelas atas dan menengah. Kelas menengah dibagi lagi kelas atas-atas, dan kelas atas bawah, kelas menengah-atas dan kelas menengah-bawah.
1.      Ragam Bahasa Kelas Sosial
Ragam bahasa boleh dikatakan merupakan dialek sosial tersendiri. Jika anggota dari kelas bawah masuk ke perguruan tinggi menjadi mahasiswa, dia segera meninggalkan dialek sosialnya, dan digantikan dengan bahasa ragam baku yang biasa dipakai di kalangan universitas dan kalangan akademis. Jadi, perbedaan atau penggolongan masyarakat manusia bisa tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu. Dengan kata lain secara linguistik dapat dikatakan jika dua dialek regional berdampingan, di dekat perbatasan itu, bisa jadi kedua unsur dialek itu akan “bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin besar.
Sumarsono (2009: 45) mengatakan, ragam bahasa dialek regional dapat dibedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu, bertepatan dengan batas-batas alam seperti laut, sungai, gunung, jalan raya, hutan dan sebagainya. Atau mungkin perbedaan itu, ditentukan oleh organisasi politik atau administrasi pemerintahan.
2.      Kelas Sosial Dan Ragam Baku
Perubahan bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa. Di samping kontak bahasa, akan terjadi ambil-mengambil ataupun saling memindahkan pemakaian unsur-unsur bahasa, dapat pula terjadi percampuran, atau terjadi pemindahan identitas bahasa pada bahasa kedua atau sebaliknya (Aslinda, 2010: 26).
Masyarakat umum yang awam pada seluk-beluk bahasa, jelas tidak tahu banyak tentang bahasa atau ragam baku, tidak tahu banyak tentang kaidah ragam baku. Mereka seolah berjalan sendiri menurut iramanya sendiri. Hal ini menyebabkan yang sudah umum dan biasa dipakai masyarakat luas dapat tidak dianggap baku oleh masyarakat yang mempunyai otoritas, sebaliknya yang ditentukan baku jarang digunakan oleh masyarakat. Akibatnya, dalam bahasa selalu hidup dua bentukan. Misalnya bentuk-bentuk yang dibakukan ialah system dan analisis, tetapi yang umum dipakai adalah istilah system dan analisa.

D.    Peristiwa Tutur
Bahasa berfungsi sebagai komunikasi secara luas (eksternal), sebuah Negara bisa menggunakan bahasa untuk hubungan kontak dengan Negara lain, misalnya, sebagai fungsi’ window on the world’ yang diartikan sebagai pembuka  jendela dunia (Ibrahim 1995: 282).
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan lawan tuturnya. Dalam setiap komunikasi interaktif linguistik, manusia saling menyampaikan informasi, baik berupa gagasan, maksud, pikiran, perasaan, maupun emosi secara langsung. Hubunganya dengan peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi liunguistik dalam suatu ujaran yang melibatkan dua pihak, antara penutur dengan mitra tuturnya.
Menurut Hymes dalam Aslinda (2010: 32), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang diakronimkan menjadi SPEAKING  yang terdiri dari Setting dan Scene, Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalies, Norm of Interaction and Interpretation, and Gendres. Penjabaran SPEAKING adalah sebagai berikut:
Setting, berhubungan dengan waktu dan tempat penuturan berlangsung, sementara Scene mengacu pada situasi, tempat, dan waktu terjadinya penuturan.

Participant, adalah peserta tutur, atau pihak-pihak yang terlibat dalam penuturan, yakni ada penutur dan mitra tutur.
Ends mengacu pada maksud dan tujuan penuturan. 
Act sequences, berkenaan dengan bentuk dan isi ujaran.
Key, berhubungan dengan nada suara.
Instrumentalitiens, berkenaan dengan saluran dan bentuk bahasa yang digunakan penutur. 
Norm of interaction and interpretation, ialah norma-norma yang harus dipahami dan berlaku dalam interaksi.
Genre mengacu pada bentuk penyampaian.


E.     TINDAK TUTUR
Penekanan pentingnya pengungkapan dan pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah sosiolinguistik dalam cara yang sangat jelas (fishman dalam Ibrahim, 1995: 142). Dalam hal ini mencari kaedah-kaedah atau norma-norma yang menjelaskan serta memaksakan tingkah laku bahasa dan tingkah laku ke arah atau terhadap bahasa di dalam komunitas ujar. Kaedah pengguanaan bahasa didefinisikan kompeten komunikatif para pemakaiannya dalam arti kemampuannya menyeleksi kode yang cocok dan mode yang tepat untuk setting dan aktifitas tertentu.
Semua interaksi lingual terdapat tindak tutur (Searle dalam Aslinda 2010: 33). Interaksi lingual bukan hanya lambang, kata atau kaliamat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.
Menurut Aslinda (2010: 34), Ada empat faktor yang menentukan tindak tutur diantaranya, adalah sebagai berikut:
1)      Dengan bahasa apa dia harus bertutur,
2)      Kepada siapa dia harus menyampaikan tuturan,
3)      Dalam situasi bagaimana tuturan itu disampaikan, dan
4)      Kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang digunakan.
Dikatakan, Tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak tutur yang dikatakan adalah sepenggal tuturan yang dihasilkan sebagai bagian terkecil dalam interaksi lingual. Tindak tutur dapat berupa pernyataan, pertanyaan, dan perintah. Dengan demikian, satu maksud tuturan perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Peran kedwibahasaan terhadap kelas sosial suatu masyarakat tutur tidak terlepas dari kaitan antara kedwibahasaan, dwibahasawan, kelas sosial, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Dwibahasa adalah media yang dipakai oleh dwibahasawan untuk mengungkapkan, atau mengujarkan kata. Kelas sosial adalah sebagai pembatas atau sekat, yang menentukan kapan dan dimana suatu peristiwa tutur dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, sehingga produk dari suatu tindak tutur dapat disamapaikan dengan baik oleh penutur dan dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur tanpa adanya kesenjangan bahasa yang terjadi pada masyarakat tutut yang berbeda kelas sosial tentunya.


DAFTAR PUSTAKA
Aslinda, dan Leni Syafyahya.2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: rafika Aditama
Ibrahim, Syukur. 1995. Sosiolinguisti. Surabaya: Usaha Nasional.
http://nayacimumut.blogspot.com/2012/06/kelas-sosial.html
Nuzulia,Dian.2010. Kedwibahasaan. N.design.wordpress.com
Sumarsono.2009. Sosiolinguistik.yogyakarta: pustaka Pelajar.
Read more »»